Kita memang tidak bisa mengubah takdir, tapi kita bisa berjuang untuk memperbaiki nasib. Jangan takut dan malu menjalani profesi rendahan, karena mungkin itu adalah langkah awal kita untuk mendaki puncak.
Begitupun dengan yang terjadi pada William King. Pria Indonesia ini sempat melakukan berbagai pekerjaan serabutan yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan dan latar belakang pendidikannya.
Ia pernah bekerja di dapur salah satu restoran seafood di Sydney, Australia, walaupun ia sendiri tidak suka seafood dan tidak tahan dengan bau amis. Tidak hanya itu, ia sempat menjadi penerima telpon di sebuah call center atau bekerja sampingan membagikan majalah di jalan.
Apapun ia lakoni saat itu agar ia bisa membiayai kuliahnya sendiri dan juga memenuhi keperluan hidupnya di perantauan. Siapa sangka, beberapa tahun kemudian ia sukses menjabat sebagai CEO perusahaan IT internasional dengan klien-klien bonafit.
Lahir dari keluarga berkecukupan
William sebenarnya terlahir di keluarga yang serba berkecukupan. Ia bisa saja memanfaatkan privilege dari orang tuanya agar karir dan pendidikannya berjalan mulus tanpa melalui kesulitan dan hambatan. Tetapi, ia lebih memilih memperjuangkan nasib dan masa depannya sendiri tanpa harus ditopang kemudahan dari orang tuanya.
Sembari kuliah di salah satu universitas di Jakarta, William membuka bisnis pertamanya. Ketertarikannya pada dunia komputer dan internet membuat ia akhirnya membuka bisnis internet cafe. Apalagi saat itu baru masa awal internet masuk ke Indonesia, dan akses masih sangat terbatas.
Uniknya, ia sendiri tidak pernah menempuh pendidikan di bidang IT. Semua skill ia dapatkan dari hasil belajar sendiri. Bisnis internet kafe yang ia jalankan cukup sukses. Tetapi dengan kensekuensi pendidikan perguruan tingginya menjadi terbengkalai. Tapi di situlah William menemukan passion yang sebenarnya.
“Sistem pendidikan di Indonesia pada zaman saya jarang mendorong seseorang untuk tahu passion dan bakatnya apa, sehingga kita kesulitan untuk menentukan cita-cita kita. Apalagi untuk bsia membuat rencana untuk mencapai cita-cita itu.” ujar William.
Asal ambil jurusan kuliah
Ia sendiri merasa tidak mengetahui passionnya apa, sehingga ia asal saja mengambil jurusan kuliah karena ikut-ikutan teman. Dampaknya? Ia tidak menikmati pendidikannya dan hasilnya tidak optimal.
Walaupun berhasil menyelesaikan pendidikan dan menjadi sarjana, ia merasa “berhutang” untuk sukses yang lebih besar di bidang pendidikan kepada orang tuanya. Selain itu, ia juga ingin menebus dengan kuliah lagi, yang kali ini sesuai dengan passion yang telah ditemukannya.
Merantau ke Australia
William mantap memutuskan merantau ke luar negeri. Ia menjual bisnis internet kafenya dan menggunakan hasilnya untuk terbang ke Australia guna melanjutkan kuliah S2 di sana di jurusan teknik informatika. Ia melakukan ini tanpa meminta bantuan sepeser pun dari orang tuanya.
Selama di Australia, William sama sekali tidak memberikan akses kepada orang tuanya untuk sekedar membantu biaya hidupnya selama di sana.
“Saya sadar kalau mereka tahu rekening bank saya, mereka akan mencoba membantu. Itu pasti akan membuat saya jadi manja, karena merasa punya safety net,” ujar William.
Menurutnya, berada di titik yang rendah dengan segala kesulitan dan tekanan yang menyertainya, akan membangun karakter kuat yang mungkin tidak dimiliki sebelumnya.
Hidup di Australia sangat mahal, apalagi perlu membiayai kuliah. Merasa uangnya sangat jauh dari cukup, William akhirnya mencoba peruntungan lain. Ia mengambil pekerjaan di dapur salah satu restoran seafood di Sydney dimana ia harus memotong dan menggoreng ikan, walaupun ia tidak suka dengan bau seafood sama sekali.
Saat tidak bekerja di restoran, ia mendapatkan upah dengan berdiri di jalan membagikan majalah kepada pejalan kaki yang lewat. Tidak cukup itu saja, ia juga menjadi penerima telepon di call center. Semua itu dilakukan di sela-sela waktu kuliah dan belajarnya.
“Tidak gampang. Ada saatnya saya sedih berjalan ke restoran tempat saya bekerja, dan berpapasan dengan para pekerja kantoran yang memakai jas dan dasi rapi. Atau saat menahan dingin karena harus diam dan berdiri di luar berjam-jam membagikan majalah saat winter. Sering juga saya tidak ingin bangun dari tidur jam 4 pagi karena harus bekerja di call center. Tapi saya tahu saya tidak boleh menyerah,” kata William.
Biar pun sakit dan tidak enak karena mengerjakan hal-hal yang tidak ia sukai, William bertahan dan bahkan tetap memaksa diri melakukannya hingga bertahun-tahun, sampai ia lulus kuliah.
“Karena hal yang tidak kita sukai belum tentu buruk untuk kita. Betul saya tidak suka, tapi saya tetap mencoba melakukannya dengan sebaik mungkin dan tidak asal-asalan. Selalu berusaha menjadi di atas rata-rata. Dari situ orang lain bisa menghargai kita dan hasil kerja kita”, ujarnya.
Kerja kantoran di bidang IT
Selepas lulus kuliah, ia akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan kantoran di bidang IT sesuai keinginannya. Seperti masa sebelumnya, semua pekerjaan dilakukan dengan prinsip memberikan yang terbaik dan harus deliver di atas rata-rata.
“Itu yang akan menjadi pembeda antara kita dengan yang lain. Dengan mencoba selalu berada di atas garis rata-rata, mungkin kita belum jadi yang terbaik, tapi sudah lebih baik dari orang kebanyakan,” ujarnya.
Di perantauan selama 16 tahun, William berproses dalam kehidupan dan karirnya. Mulai dari titik paling bawah, ia berhasil meraih banyak hal yang diinginkannya.
Selain pendidikan dan karir, ia juga memulai kehidupan rumah tangganya di sana. Kehidupan yang stabil dan nyaman secara pekerjaan, sosial, finansial, dan jaminan masa depan tidak membuatnya berpuas diri. William merasa dengan belasan tahun yang ia lalui mengikuti passion-nya, pasti ada potensi untuk pencapaian yang lebih besar.
“Saya bisa saja memilih melanjutkan hidup seperti apa adanya, dan saya yakin semua akan baik-baik saja. Saat pensiun di Australia, jumlah tabungan, asset, kesejahteraan, semua bisa dihitung dan diperkirakan dari sekarang. Saya tinggal menjalani hidup saja. Tapi apakah itu yang saya inginkan?” kata William.
“Saya merasa ada potensi yang belum saya optimalkan. Kalau dimisalkan kita ini adalah anak panah, maka sepertinya ada yang kurang sebelum anak panah itu menancap di bulls eye, dan panggilan itu yang selalu terngiang di pikiran saya,” lanjutnya.
William menyadari bahwa biar pun merasa memiliki potensi, tapi bisa saja itu hanya sekedar pikiran sendiri saja. Mungkin saja kemampuan itu sebenarnya tidak ada. Untuk menemukan jawaban, satu-satunya cara adalah dengan menguji potensi itu, dan men-challenge diri sendiri.
Kembali ke Indonesia demi karir baru
Akhirnya William memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk memulai bisnisnya sendiri. Ia mengaku, keputusannya kembali ke Indonesia memang terbilang beresiko. Ia harus meninggalkan semua kenyamanan yang sudah dinikmatinya Australia.
“Seperti saya bilang, bisa saja ternyata saya yang over-appreciate diri sendiri, padahal sebenarnya saya tidak mampu. Karena itu, bisa saja saya gagal. Tapi lebih baik saya mencoba sekarang dan gagal, daripada hanya membayangkan saja. Saya tidak mau nanti saat sudah pensiun, ketika saya sudah tua dan duduk sambil ngopi di rumah kemudian bertanya kepada diri sendiri: bagaimana seandainya dulu saya kembali ke Indonesia dan memulai sesuatu? Saat itu semua sudah terlambat”, ujarnya.
William tidak mau seumur hidup bertanya-tanya dengan klausa “What if” dan tidak pernah mendapatkan jawabannya. Pada tahun 2016 akhirnya kembali ke Indonesia dan memulai bisnis yang sesuai dengan passionnya. Bukan hal mudah memulai bisnis di Indonesia karena ia merasa seperti datang ke negara baru.
Seperti saat awal sampai ke Australia, ia harus beradaptasi dengan banyak hal. Mulai dari keadaan, lingkungan sampai kultur bekerja di Indonesia. Tumbuh dan berproses di luar negeri tentu memberi pengaruh yang besar terhadap sisi karirnya.
Ia mulai meniti bisnisnya dengan membuka perusahaan IT bernama Cranium Indonesia. Perusahaan ini menyediakan jasa di bidang pengembangan solusi IT, untuk membantu transformasi digital perusahaan dan otomatisasi bisnis. Ia memulai Cranium hanya dengan 4 karyawan.
Saat ini, Cranium telah memiliki lebih dari 100 karyawan yang tersebar di 3 kantor di Indonesia. Berbagai perusahaan telah menggunakan jasa Cranium untuk mengembangkan software, system, aplikasi web dan mobile, dan bermacam kebutuhan online dan digital mereka.
Hari ini, terhitung banyak perusahaan besar dari beragam industry di Indonesia yang pernah menjadi klien Cranium Indonesia, seperti BCA, Sampoerna, OCBC, Lazada, Bank BTPN, dan sebagainya. Begitu juga BUMN dan lembaga pemerintah seperti KPK, Kementerian Keuangan, Pertamina, Telkom Indonesia, Arta Jasa, dan lain-lain.
Di masa pandemi Covid-19, saat banyak perusahaan di Indonesia yang gulung tikar, Cranium justru disibukkan dengan project dengan salah satu perusahaan jasa keuangan terbesar di Korea selatan yang bernama BCcard.
Karena kerjasama yang baik dan kemampuan Cranium yang diapresiasi oleh perusahaan Korea Selatan tersebut, BCcard bahkan memutuskan untuk mengakuisisi Cranium untuk membantu memperluas jangkauan bisnisnya di Indonesia.
Berita bergabungnya dua perusahaan tersebut sempat ramai diberitakan di Korea Selatan. Sebuah pencapaian yang tidak didapatkan dengan mudah. Begitu banyak proses yang William lalui hingga ia bisa di posisinya hari ini.
Sebagai seorang yang beriman, William mengaku bahwa pencapaiannya saat ini hanya bisa terwujud karena adanya campur tangan Tuhan.
“Tidak ada apapun yang saya lakukan yang orang lain tidak bisa. Saya hanya berjuang memanfaatkan potensi yang diberikan kepada saya dan lebih dari semua itu, Tuhan yang memberikan berkatnya”, ujar William.
Saat diminta untuk memberikan tips buat pembaca, William mengatakan jika passion itu penting, tapi jangan disalahartikan. Jangan sampai kita sering menyerah melakukan sesuatu dengan alasan tidak sesuai dengan passion. Artikanlah passion sebagai petunjuk arah saat kita memulai, sehingga kita bisa mengawali dengan mengerjakan apa yang kita cintai.
Leave a Reply